LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
PENENTUAN KECEPATAN DISOLUSI DARI TABLET
AMOXICILIN
DISUSUN OLEH :
AYU YULISTINA
GALANG ANDRE HANUSA
MUHAMMAD AKBAR ARIQSYAH
NADIRA NUR SHADRINA
III A FARMASI (REGULER)
UNIVERSITAS AL-GHIFARI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FARMASI
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa
diharapkan mampu, untuk :
1)
Menentukan konstanta kecepatan disolusi dari tablet amoxicilin.
2)
Menentukan laju disolusi tablet amoksisilin
menggunakan medium air suling dengan menggunakan alat disolusi.
3)
Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi tablet amoxicilin.
1.2 Prinsip
Percobaan
Berdasarkan penentuan konstanta kecepatan
disolusi dari tablet amoxicilin 500 mg berdasarkan kadar amoxicilin
yang terdisolusi dalam medium air suling pada suhu 370C dengan
menggunakan alat disolusi dan penentuan kadarnya dengan menggunakan metode titrasi
alkalimetri.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif
dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Ketersediaan suatu obat
sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut
sebelum diserap ke dalam tubuh. Kecepatan disolusi dapat
dinyatakan sebagai jumlah zat dalam bentuk padatan yang terlarut dalam pelarut
tertentu dengan satuan waktu.
Prinsip disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk
padat atau semi padat yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep. Kecepatan disolusi
merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/ pecahan/
partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat
aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat
aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan
padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan.
Dalam bidang farmasi, obat
masih dapat diterima apabila sebagian obat mengalami perubahan sampai batas
tertentu, yaitu suatu kadar obat masih berada dalam kadar yang ditetapkan dalam
Farmakope Indonesia atau Farmakope lainnya. Batas kadar yang dimaksud adalah 90
% artinya kalau kadar obat masih di atas 90 %, obat tersebut masih dapat
digunakan. Tapi, jika kadar obat kurang dari 0 %, maka obat tersebut sudah
tidak dapat digunakan lagi. Indikasi kualitas yang mendasar
adalah kandungan bahan aktif, kondisi galenik dan sifat sensorik yang menarik,
sifat mikrobiologi dan toksitologi serta aktifitas terapiknya. Skala perubahan
yang diizinkan untuk bahan obat yang telah tercantum dalam farmakope adalah 90
% bahan aktif dari yang tertara pada etiket berlaku dalam lingkup internasional
sejauh produk urainya yang terbentuk tidak menaikkan toksisitas sedian secara
keseluruhan.
2.1.1 Metode penentuan disolusi obat.
2.1.1.1 Metode suspensi.
Bubuk zat padat ditambahkan
pada pelarut tanpa pengontrolan yang eksak terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat
yang terlarut ditentukan dengan cara yang sesuai.
2.1.1.2 Metode permukaan konstan.
Zat
ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya, sehingga variable
perbedaan luas permukaan efektif dapat dihilangkan. Biasanya zat dibuat tablet
terlebih dahulu. Kemudian sampel ditentukan seperti pada metode suspensi.
Kecepatan
pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien difusi,
serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan
pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan
zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat
aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan
pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan
oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.
2.1.2
Faktor yang mempengaruhi disolusi
obat
2.1.2.1
Temperatur
Naiknya
temperatur pada umumnya memperbesar kelarutan (Cs) zat yang
endotermis, serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
2.1.2.2
Viskositas
Turunnya
viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan pelarutan suatu zat sesuai dengan
persamaan Einstein. Naiknya temperatur juga akan menyebabkan turunnya
viskositas sehingga memperbesar kecepatan pelarutan.
2.1.2.3
Derajat keasaman (pH) pelarut
pH
pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan-kelarutan zat-zat yang bersifat
asam lemah atau basa lemah.
2.1.2.4
Pengadukan
Kecepatan
pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi. Bila pengadukan cepat maka
tebal lapisan difusi berkurang sehingga menikkan kecepatan pelarut
suatu zat.
2.1.2.5
Ukuran partikel
Bila
partikel zat terlalu kecil maka luas permukaan efektif besar sehingga menaikkan
kecepatan pelarutan suatu zat
2.1.2.6
Polimorfisa
Kelarutan
zat dipengaruhi oleh adanya polimorfisa. Karena bentuk kristal yang berbeda
akan mempunyai kelarutan yang berbeda pula. Kelarutan bentuk kristal yang meta
stabil lebih besar dari pada bentuk stabil, sehingga kecepatan pelarutannya
besar.
2.1.2.7
Sifat permukaan zat
Pada
umumnya zat-zat yang digunakan sebagai obat bersifat hidrofob, dengan adanya
surfaktan di dalam pelarut akan menurunkan tegangan permukaan antara partikel
zat dengan pelarut, sehingga mudah terbasahi dan kecepatan pelarutan bertambah.
2.1.3
Tahap pembuatan sediaan obat
2.1.3.1
Tahap pre-formulasi
Pada tahap ini penentuan
kececepatan pelarutan dilakukan terhdap bahan baku obat dengan tujuan untuk
memilih sumber bahn baku dan memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut.
2.1.3.2
Tahap Formulasi
Pada tahap ini penentuan
kecepatan pelarutan dilakukan untuk memilih formula yang terbaik.
2.1.3.3
Tahap produksi
Pada tahap ini penentuan
kecepatan pelarutan dilakukan untuk kontrol kualitas sediaan obat yang
diproduksi.
2.2 Uraian
Bahan
2.2.1
Air suling
Nama resmi : Aqua destillata
Nama lain :
Air suling, aquadest
RM/BM :
H2O/18,02
Pemerian :
cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa.
Kegunaan :
medium disolusi
2.2.2 Fenolftalein
Nama resmi : Phenolftalein
Nama lain : Fenolftalein
RM/BM : C20H14O4/318,32
Pemerian : serbuk hablur putih, putih atau
kekuningan, larut dalam etanol, agak
sukar larut dalam eter.
Kelarutan : sukar larut dalam air, larut dalam
etanol (95%) P.
Kegunaan : sebagai indikator.
2.2.3 Natrium
hidroksida
Nama resmi : Natrii
hydroxydum
Nama lain : Natrium hidroksida
RM/BM : NaOH/40,00
Pemerian : bentuk batang, butiran, masa hablur
atau keping, kering, rapuh dan mudah meleleh basah, sangat alkalis dan korosif,
segera menyerap CO2.
Kelarutan :
sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%).
Kegunaan :
larutan baku
2.2.4 Amoksisilin
Nama resmi : Amoxicillinum
Nama lain : Amoksisilin
RM/BM : C16H19N3O5S/419,45
Pemerian : serbuk hablur, putih ; praktis tidak
berbau
Kelarutan : sukar larut dalam air dan methanol ; tidak
larut dalam benzena, dalam karbon tetraklorida dan dalam kloroform
Khasiat : sebagai antibiotic
Kegunaan : sebagai sampel
BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1
Alat yang digunakan.
1)
Collapse tester
2)
Erlenmeyer 200 ml
3)
Gelas piala
4)
Gelas ukur
5)
Statif dan klem
6)
Buret
7)
Pipet volume 10 ml
8)
Lap kasar
9)
Thermometer
10)
Tissue roll
3.1.2
Bahan yang digunakan.
1)
Air suling
2)
Indicator fenolftalein
3)
Amoxicillin
4)
NaOH 0,1 N
3.2 Cara Kerja
1)
Stel alat dissolution tester
-
Suhu :
37 0C
-
Speed :
100 rpm
-
Waktu :
45 menit
2)
Isi bejana dengan air 900 ml (bersamaan
dengan memasukkan asam mefenamat ke dalam keranjang)
3)
Tunggu suhu air pada bak disolusi sampai 37 0C
4)
Nyalakan alat disolusinya
5)
Tunggu sampai 5 menit, kemudian ambil 20 ml
dari bejana dengan menggunakan pipet volume (bersamaan pemipetan, tambahkan
aquadest 20 ml)
6)
Masukkan hasil pipetan ke dalam erlenmeyer
secara duplo (dua kali), tambahkan 3 tetes fenolftalein sebagai indicator
7)
Titrasi dengan NaOH 0,1 N
8)
Catat hasil titrasi
9)
Lakukan langkah 5-8 berdasarkan interval
waktu yang ditentukan (15, 25, 35, 45 menit)
10)
Buat tabel hasil titrasi
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Hasil Pengamatan
3.3.1
Tabel
Waktu
|
Volume NaOH
|
Konsentrasi
|
||
1x
|
2x
|
1x
|
2x
|
|
5 menit
|
0,1 ml
|
0,2 ml
|
0,001 N
|
0,002 N
|
15 menit
|
0,4 ml
|
0,1 ml
|
0,004 N
|
0,001 N
|
25 menit
|
0,2 ml
|
0,1 ml
|
0,002 N
|
0,001 N
|
35 menit
|
0,4 ml
|
0,2 ml
|
0,004 N
|
0,002 N
|
45 menit
|
0,3 ml
|
0,2 ml
|
0,003 N
|
0,002 N
|
3.3.2
Perhitungan
Interval waktu
|
Titrasi 1
|
Titrasi 2
|
5 menit
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
10 x N1 = 0,1 x 0,1
|
10 x N1 = 0,2 x 0,1
|
|
10 x N1 = 0,01
|
10 x N1 = 0,02
|
|
N1 = 0,001 N
|
N1 = 0,002 N
|
|
15 menit
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
10 x N1 = 0,4 x 0,1
|
10 x N1 = 0,1 x 0,1
|
|
10 x N1 = 0,04
|
10 x N1 = 0,01
|
|
N1 = 0,004 N
|
N1 = 0,001 N
|
|
25 menit
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
10 x N1 = 0,2 x 0,1
|
10 x N1 = 0,1 x 0,1
|
|
10 x N1 = 0,02
|
10 x N1 = 0,01
|
|
N1 = 0,002 N
|
N1 = 0,001 N
|
|
35 menit
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
10 x N1 = 0,4 x 0,1
|
10 x N1 = 0,2 x 0,1
|
|
10 x N1 = 0,04
|
10 x N1 = 0,02
|
|
N1 = 0,004 N
|
N1 = 0,002 N
|
|
45 menit
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
V1 x N1 = V2 x N2
|
10 x N1 = 0,3 x 0,1
|
10 x N1 = 0,2 x 0,1
|
|
10 x N1 = 0,03
|
10 x N1 = 0,02
|
|
N1 = 0,003 N
|
N1 = 0,002 N
|
3.2 Pembahasan
Disolusi
didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari
sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Laju disolusi suatu obat adalah
kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam medianya setiap
waktu tertentu. Kecepatan disolusi atau kelarutan
sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut yang paling baik
untuk obat atau kombinasi obat. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting
artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh
Pada
percobaan kali ini menentukan laju disolusi dari amoksisilin, yang dipengaruhi
oleh temperatur. Sebelum melakukan uji disolusi, hal yang pertama dilakukan
yaitu menyediakan dan membersihkan alat. Selanjutnya diisi bejana
dan alat disolusi dengan aquadest sebanyak 900 mL, lalu dicampurkan 1 gram
amoksisilin dalam bejana dan diatur temperatur alat disolusi 370C
disesuaikan dengan suhu tubuh normal pada manusia serta dilakukan pada
kecepatan 100 rpm. Hal ini dikarenakan kita akan menguji obat tersebut melarut
dalam tubuh. Kemudian pada menit pertama setelah alat disolusi dijalankan ambil
campuran aquadest dengan amoksisilin sebanyak 20 mL dengan menggunakan pipet
volume dan dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer. Dilakukan kembali pengambilan
larutan amoksisilin sebanyk 20 ml pada menit ke-5, 15, 25, 35 dan 45, usahakan
setiap selesai pengambilan larutan diganti dengan 20 mL air.
Setelah
semua sampel dari masing-masing waktu telah ada, maka selanjutnya ditentukan
kadar masing-masing sampel dengan menggunakan metode titrasi alkalimetri,
karena sampel yang akan ditentukan kadarnya adalah amoksisilin yang bersifat
asam maka untuk menentukan kadarnya harus dinetralisasi dengan menggunakan
larutan bersifat basa NaOH 0,01 N dan ditambahkan indikator fenolftalein untuk
menentukan titik akhir titrasi dengan adanya perubahan warna dari tidak
berwarna menjadi warna merah muda (pink keunguan).
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Dari hasil percobaan yang di lakukan
maka dapat di tarik kesimpulan :
1)
Disolusi obat adalah suatu proses
hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat aktif dari tablet ketika
dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan tubuh.
2)
Agar
suatu obat dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menghasilkan efek
terapeutik, obat tersebut tentunya harus memiliki daya hancur yang baik dan
laju disolusi yang relatif cukup cepat.
3)
Adapun
ketidaksesuaian hasil praktikum ini dengan literatur, hal ini disebabkan
beberapa faktor kesalahan antara lain yaitu kesalahan dalam melakukan uji
disolusi, suhu yang tidak tepat, dan pengamatan yang kurang teliti
4.2
Saran
Sebaiknya selama praktikum,
praktikan harus menjaga kebersihan laboratorium. Diharapkan
untuk praktikum selanjutnya, lebih mengefektifkan waktu dengan membagi beberapa
praktikum kepada masing-masing kelompok. Alat-alat laboratorium agar segera
dilengkapi untuk menunjang jalannya praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Depkes RI.
1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
[2]
Depkes RI.
1995. Farmakope
Indonesia Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
[3] Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik
Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
[4] Prasetya, Jemmy Anton dkk. 2012. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisika. Jimbaran : Udayana University
Press
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar