Rabu, 28 Desember 2016

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA


LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
PENENTUAN KECEPATAN DISOLUSI DARI TABLET AMOXICILIN

DISUSUN OLEH :
AYU YULISTINA
GALANG ANDRE HANUSA
MUHAMMAD AKBAR ARIQSYAH
NADIRA NUR SHADRINA




III A FARMASI (REGULER)




UNIVERSITAS AL-GHIFARI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FARMASI
BANDUNG
2016




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu, untuk :
1)        Menentukan konstanta kecepatan disolusi dari tablet amoxicilin.
2)        Menentukan laju disolusi tablet amoksisilin menggunakan medium air suling dengan menggunakan alat disolusi.
3)        Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi tablet amoxicilin.

1.2    Prinsip Percobaan
Berdasarkan penentuan konstanta kecepatan disolusi dari tablet  amoxicilin 500 mg berdasarkan kadar amoxicilin yang terdisolusi dalam medium air suling pada suhu 370C dengan menggunakan alat disolusi dan penentuan kadarnya dengan menggunakan metode titrasi alkalimetri.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Dasar Teori
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Kecepatan disolusi dapat dinyatakan sebagai jumlah zat dalam bentuk padatan yang terlarut dalam pelarut tertentu dengan satuan waktu. Prinsip disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep.                                                                                                      Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan.
Dalam bidang farmasi, obat masih dapat diterima apabila sebagian obat mengalami perubahan sampai batas tertentu, yaitu suatu kadar obat masih berada dalam kadar yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau Farmakope lainnya. Batas kadar yang dimaksud adalah 90 % artinya kalau kadar obat masih di atas 90 %, obat tersebut masih dapat digunakan. Tapi, jika kadar obat kurang dari 0 %, maka obat tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi.                                    Indikasi kualitas yang mendasar adalah kandungan bahan aktif, kondisi galenik dan sifat sensorik yang menarik, sifat mikrobiologi dan toksitologi serta aktifitas terapiknya. Skala perubahan yang diizinkan untuk bahan obat yang telah tercantum dalam farmakope adalah 90 % bahan aktif dari yang tertara pada etiket berlaku dalam lingkup internasional sejauh produk urainya yang terbentuk tidak menaikkan toksisitas sedian secara keseluruhan.



2.1.1   Metode penentuan disolusi obat.
2.1.1.1  Metode suspensi.
Bubuk zat padat ditambahkan pada pelarut tanpa pengontrolan yang eksak terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang terlarut ditentukan dengan cara yang sesuai.
2.1.1.2  Metode permukaan konstan.
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya, sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat dihilangkan. Biasanya zat dibuat tablet terlebih dahulu. Kemudian sampel ditentukan seperti pada metode suspensi.

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.

2.1.2   Faktor yang mempengaruhi disolusi obat
2.1.2.1  Temperatur
Naiknya temperatur pada umumnya memperbesar kelarutan (Cs) zat yang endotermis, serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
2.1.2.2  Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan pelarutan suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Naiknya temperatur juga akan menyebabkan turunnya viskositas sehingga memperbesar kecepatan pelarutan.
2.1.2.3  Derajat keasaman (pH) pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan-kelarutan zat-zat yang bersifat asam lemah atau basa lemah.
2.1.2.4  Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi. Bila pengadukan cepat maka tebal  lapisan difusi berkurang sehingga menikkan kecepatan pelarut suatu zat.
2.1.2.5  Ukuran partikel
Bila partikel zat terlalu kecil maka luas permukaan efektif besar sehingga menaikkan kecepatan pelarutan suatu zat
2.1.2.6  Polimorfisa
Kelarutan zat dipengaruhi oleh adanya polimorfisa. Karena bentuk kristal yang berbeda akan mempunyai kelarutan yang berbeda pula. Kelarutan bentuk kristal yang meta stabil lebih besar dari pada bentuk stabil, sehingga kecepatan pelarutannya besar.
2.1.2.7  Sifat permukaan zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai obat bersifat hidrofob, dengan adanya surfaktan di dalam pelarut akan menurunkan tegangan permukaan antara partikel zat dengan pelarut, sehingga mudah terbasahi dan kecepatan pelarutan bertambah.

2.1.3   Tahap pembuatan sediaan obat
2.1.3.1  Tahap pre-formulasi
Pada tahap ini penentuan kececepatan pelarutan dilakukan terhdap bahan baku obat dengan tujuan untuk memilih sumber bahn baku dan memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut.



2.1.3.2  Tahap Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan pelarutan dilakukan untuk memilih formula yang terbaik.
2.1.3.3  Tahap produksi
Pada tahap ini penentuan kecepatan pelarutan dilakukan untuk kontrol kualitas sediaan obat yang diproduksi.

2.2    Uraian Bahan
2.2.1   Air suling
Nama resmi : Aqua destillata
Nama lain   : Air suling, aquadest
RM/BM      : H2O/18,02
Pemerian     : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa.
Kegunaan   : medium disolusi
2.2.2   Fenolftalein
Nama resmi : Phenolftalein
Nama lain   : Fenolftalein
RM/BM      : C20H14O4/318,32
Pemerian     : serbuk hablur putih, putih atau kekuningan, larut dalam etanol,   agak sukar larut dalam eter.
Kelarutan    : sukar larut dalam air, larut dalam etanol (95%) P.
Kegunaan   : sebagai indikator.
2.2.3   Natrium hidroksida
Nama resmi : Natrii hydroxydum
Nama lain   : Natrium hidroksida
RM/BM      : NaOH/40,00
Pemerian     : bentuk batang, butiran, masa hablur atau keping, kering, rapuh dan mudah meleleh basah, sangat alkalis dan korosif, segera menyerap CO2.
Kelarutan    : sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%).
Kegunaan   : larutan baku
2.2.4   Amoksisilin
Nama resmi : Amoxicillinum
Nama lain   : Amoksisilin
RM/BM      : C16H19N3O5S/419,45
Pemerian     : serbuk hablur, putih ; praktis tidak berbau
Kelarutan    : sukar larut dalam air dan methanol ; tidak larut dalam benzena, dalam karbon tetraklorida dan dalam  kloroform
Khasiat       : sebagai antibiotic
Kegunaan   : sebagai sampel



BAB III
METODE KERJA

3.1    Alat dan Bahan
3.1.1   Alat yang digunakan.
1)        Collapse tester
2)        Erlenmeyer 200 ml
3)        Gelas piala
4)        Gelas ukur
5)        Statif dan klem
6)        Buret
7)        Pipet volume 10 ml
8)        Lap kasar
9)        Thermometer
10)    Tissue roll

3.1.2   Bahan yang digunakan.
1)        Air suling
2)        Indicator fenolftalein
3)        Amoxicillin
4)        NaOH 0,1 N

3.2    Cara Kerja
1)        Stel alat dissolution tester
-        Suhu    : 37 0C
-        Speed : 100 rpm
-        Waktu : 45 menit
2)        Isi bejana dengan air 900 ml (bersamaan dengan memasukkan asam mefenamat ke dalam keranjang)
3)        Tunggu suhu air pada bak disolusi sampai 37 0C
4)        Nyalakan alat disolusinya
5)        Tunggu sampai 5 menit, kemudian ambil 20 ml dari bejana dengan menggunakan pipet volume (bersamaan pemipetan, tambahkan aquadest 20 ml)
6)        Masukkan hasil pipetan ke dalam erlenmeyer secara duplo (dua kali), tambahkan 3 tetes fenolftalein sebagai indicator
7)        Titrasi dengan NaOH 0,1 N
8)        Catat hasil titrasi
9)        Lakukan langkah 5-8 berdasarkan interval waktu yang ditentukan (15, 25, 35, 45 menit)
10)    Buat tabel hasil titrasi



BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Hasil Pengamatan
3.3.1   Tabel
Waktu
Volume NaOH
Konsentrasi
1x
2x
1x
2x
5 menit
0,1 ml
0,2 ml
0,001 N
0,002 N
15 menit
0,4 ml
0,1 ml
0,004 N
0,001 N
25 menit
0,2 ml
0,1 ml
0,002 N
0,001 N
35 menit
0,4 ml
0,2 ml
0,004 N
0,002 N
45 menit
0,3 ml
0,2 ml
0,003 N
0,002 N

3.3.2   Perhitungan
Interval waktu
Titrasi 1
Titrasi 2
5 menit
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x N1 = V2 x N2
10 x N1 = 0,1 x 0,1
10 x N1 = 0,2 x 0,1
10 x N1 = 0,01
10 x N1 = 0,02
N1 = 0,001 N
N1 = 0,002 N
15 menit
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x N1 = V2 x N2
10 x N1 = 0,4 x 0,1
10 x N1 = 0,1 x 0,1
10 x N1 = 0,04
10 x N1 = 0,01
N1 = 0,004 N
N1 = 0,001 N
25 menit
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x N1 = V2 x N2
10 x N1 = 0,2 x 0,1
10 x N1 = 0,1 x 0,1
10 x N1 = 0,02
10 x N1 = 0,01
N1 = 0,002 N
N1 = 0,001 N
35 menit
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x N1 = V2 x N2
10 x N1 = 0,4 x 0,1
10 x N1 = 0,2 x 0,1
10 x N1 = 0,04
10 x N1 = 0,02
N1 = 0,004 N
N1 = 0,002 N
45 menit
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x N1 = V2 x N2
10 x N1 = 0,3 x 0,1
10 x N1 = 0,2 x 0,1
10 x N1 = 0,03
10 x N1 = 0,02
N1 = 0,003 N
N1 = 0,002 N

3.2    Pembahasan
Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Laju disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam medianya setiap waktu tertentu.                                                                                          Kecepatan disolusi atau kelarutan sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh
Pada percobaan kali ini menentukan laju disolusi dari amoksisilin, yang dipengaruhi oleh temperatur. Sebelum melakukan uji disolusi, hal yang pertama dilakukan yaitu menyediakan dan membersihkan alat.  Selanjutnya diisi bejana dan alat disolusi dengan aquadest sebanyak 900 mL, lalu dicampurkan 1 gram amoksisilin dalam bejana dan diatur temperatur alat disolusi 370C disesuaikan dengan suhu tubuh normal pada manusia serta dilakukan pada kecepatan 100 rpm. Hal ini dikarenakan kita akan menguji obat tersebut melarut dalam tubuh. Kemudian pada menit pertama setelah alat disolusi dijalankan ambil campuran aquadest dengan amoksisilin sebanyak 20 mL dengan menggunakan pipet volume dan dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer. Dilakukan kembali pengambilan larutan amoksisilin sebanyk 20 ml pada menit ke-5, 15, 25, 35 dan 45, usahakan setiap selesai pengambilan larutan diganti dengan 20 mL air.
Setelah semua sampel dari masing-masing waktu telah ada, maka selanjutnya ditentukan kadar masing-masing sampel dengan menggunakan metode titrasi alkalimetri, karena sampel yang akan ditentukan kadarnya adalah amoksisilin yang bersifat asam maka untuk menentukan kadarnya harus dinetralisasi dengan menggunakan larutan bersifat basa NaOH 0,01 N dan ditambahkan indikator fenolftalein untuk menentukan titik akhir titrasi dengan adanya perubahan warna dari tidak berwarna menjadi warna merah muda (pink keunguan).



BAB IV
PENUTUP

4.1     Kesimpulan
Dari hasil percobaan yang di lakukan maka dapat di tarik kesimpulan :
1)        Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat aktif dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan tubuh.
2)        Agar suatu obat dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menghasilkan efek terapeutik, obat tersebut tentunya harus memiliki daya hancur yang baik dan laju disolusi yang relatif cukup cepat.
3)        Adapun ketidaksesuaian hasil praktikum ini dengan literatur, hal ini disebabkan beberapa faktor kesalahan antara lain yaitu kesalahan dalam melakukan uji disolusi, suhu yang tidak tepat, dan pengamatan yang kurang teliti

4.2     Saran
Sebaiknya selama praktikum, praktikan harus menjaga kebersihan laboratorium. Diharapkan untuk praktikum selanjutnya, lebih mengefektifkan waktu dengan membagi beberapa praktikum kepada masing-masing kelompok. Alat-alat laboratorium agar segera dilengkapi untuk menunjang jalannya praktikum.



DAFTAR PUSTAKA

[1] Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
[2] Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
[3]   Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
[4]   Prasetya, Jemmy Anton dkk. 2012. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisika. Jimbaran : Udayana University Press



LAMPIRAN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar